JOGJAOKE.COM, Yogyakarta — Memasuki musim hujan dengan intensitas tinggi, masyarakat diimbau untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap risiko kerusakan bangunan dan ambruknya rumah, terutama bagi hunian lama yang jarang dirawat.
Hujan deras yang mengguyur selama beberapa hari memang dapat menjadi pemicu, tetapi penyebab utama kerusakan justru terletak pada kondisi fisik rumah yang menurun serta kurangnya perawatan berkala.
Pakar Teknik Struktur dan Bahan Konstruksi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Ir. Restu Faizah, S.T., M.T., menuturkan bahwa sebagian besar kasus rumah roboh saat musim hujan disebabkan oleh kelalaian dalam pemeliharaan struktur.
Air hujan yang merembes ke bagian penting bangunan seperti atap, dinding, dan pondasi menjadi faktor utama yang mempercepat kerusakan.
“Ketika musim hujan, yang paling perlu diwaspadai adalah air yang masuk ke bagian struktur. Misalnya pada atap, jika kayu sudah lapuk dan tidak diperiksa, lama-kelamaan bisa roboh,” ujar Restu saat ditemui di Gedung AR Fachruddin A, Kampus UMY, Jumat (7/11).
Restu menjelaskan bahwa kualitas material bangunan juga berperan besar terhadap daya tahan rumah, terutama di wilayah dengan curah hujan tinggi seperti Yogyakarta.
Penggunaan bahan bangunan yang tidak sesuai dengan kondisi lingkungan, menurut dia, dapat mempercepat proses pelapukan dan membahayakan penghuni.
“Untuk daerah yang sering diguyur hujan, bahan bangunan sebaiknya tahan air. Kolom dan dinding harus diplester agar air tidak mudah merembes. Kalau betonnya terlalu porus, air bisa menembus hingga ke tulangan dan menyebabkan korosi,” katanya.
Lebih jauh, Restu mengingatkan pentingnya menyesuaikan bahan bangunan dengan risiko bencana lokal. Di daerah berintensitas hujan tinggi, ia menyarankan penggunaan material ringan dan tahan air agar tidak menambah beban struktur ketika basah.
“Prinsipnya, kita harus memahami kondisi geografis sebelum membangun. Pilih kayu tua yang sudah dipelitur, dinding diplester rapat, dan gunakan atap ringan agar tidak menambah massa bangunan saat basah,” ujarnya menambahkan.
Selain ancaman kerusakan fisik, musim hujan juga meningkatkan potensi bahaya sekunder seperti banjir dan tanah longsor. Untuk itu, Restu mendorong adanya mitigasi struktural dini melalui program pemeriksaan kondisi rumah lama.
Ia mengusulkan kerja sama antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat dalam bentuk penilaian kelayakan struktur bangunan.
“Pemerintah bisa memberikan edukasi, sementara perguruan tinggi berperan lewat pengabdian masyarakat. Dosen dan mahasiswa teknik bisa membantu memeriksa kondisi rumah tua di desa,” tuturnya.
Dengan sinergi tersebut, risiko kerusakan bangunan dapat ditekan sekaligus memperkuat budaya hidup aman dan tangguh bencana di lingkungan permukiman. (ihd)






