JOGJAOKE.COM, Yogyakarta — Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menetapkan fatwa bahwa penggunaan Mirin sebagai bumbu masakan diperbolehkan (mubah) bagi umat Islam yang tinggal di Jepang, dengan syarat tertentu. Namun, penggunaan bahan kuliner asal Jepang itu tetap dihukumi haram di Indonesia.
Ketetapan tersebut disampaikan dalam Pengajian Tarjih Muhammadiyah edisi ke-322 yang disiarkan langsung melalui kanal YouTube Tarjih Channel, Rabu (1/10/2025) malam. Narasumber pengajian, Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Muh. Rofiq Muzakkir, Lc., M.A., Ph.D., menjelaskan bahwa keputusan ini mempertimbangkan konteks sosial dan budaya setempat.
Menurut Rofiq, Mirin dalam tradisi kuliner Jepang digunakan sebagai bumbu non-intoksikasi untuk menghilangkan bau amis, menjaga bentuk bahan makanan, serta memperkuat cita rasa. Karena itu, Mirin dikategorikan sebagai bumbu, bukan bagian dari industri khamar (minuman keras).
“Kalau Mirin digunakan sebagai bumbu masakan, hukumnya mubah. Namun, jika dipakai untuk tujuan memabukkan, hukumnya haram,” kata Rofiq.
Fatwa tersebut didasarkan pada dua kaidah fiqih utama, yakni al-masyaqqah tajlib al-taysir (kesulitan mendatangkan kemudahan) dan al-umuru bi maqasidiha (segala sesuatu tergantung pada tujuannya).
Rofiq yang juga dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menegaskan, kebolehan penggunaan Mirin di Jepang hanya berlaku bila bahan itu dimasak hingga kadar alkoholnya menguap. Dalam kondisi demikian, Mirin tidak dianggap najis karena perannya semata sebagai bumbu.
“Pertimbangan ini diambil karena Mirin telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya kuliner Jepang, bahkan kedudukannya setara dengan cabai di Indonesia. Mengharamkannya justru akan menyulitkan muslim yang menetap di sana,” ujar Rofiq.
Namun, ia menegaskan, meminum Mirin secara langsung tetap haram karena statusnya berubah menjadi khamar yang memabukkan. Begitu pula penggunaannya sebagai bumbu tanpa proses pemanasan, walau sedikit, tetap dilarang. Ketentuan ini merujuk pada hadis Nabi: “Apa yang memabukkan dalam jumlah banyak, maka sedikitnya pun haram.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Berbeda dengan Jepang, Majelis Tarjih Muhammadiyah menegaskan bahwa Mirin tidak boleh digunakan di Indonesia. Alasannya, bahan tersebut bukan bagian dari tradisi kuliner Nusantara dan berpotensi disalahgunakan.
“Jika dibolehkan di Indonesia, dikhawatirkan akan memperluas peredaran Mirin di pasaran dan bisa disalahgunakan sebagai minuman keras. Karena itu, dalam konteks Indonesia hukumnya tetap haram,” tutur Rofiq. (ihd)