JOGJAOKE.COM, Yogyakarta — Generasi muda masa kini menghadapi tantangan besar di tengah derasnya arus digitalisasi. Mereka tumbuh dalam lingkungan sosial yang berpindah ke layar gawai, membuat proses pencarian jati diri kerap terhambat. Fenomena ini dikenal sebagai The Anxious Generation atau “generasi cemas” — generasi yang tumbuh dengan tingkat kecemasan dan ketidakstabilan mental yang tinggi.
Wakil Rektor Bidang Pengembangan Universitas dan Al-Islam Kemuhammadiyahan (AIK) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Faris Al-Fadhat, M.A., Ph.D., menilai fenomena tersebut berakar dari perubahan mendasar dalam pola tumbuh kembang anak.
“Anak-anak yang tumbuh antara tahun 2010 hingga 2015 kini menjadi mahasiswa UMY. Mereka mengalami pergeseran dari play-based childhood menjadi fun-based childhood. Tidak lagi bermain bersama teman di lapangan, melainkan di depan layar ponsel. Akibatnya, kemampuan sosial, empati, dan pengendalian diri berkembang dalam konteks yang berbeda,” ujar Faris saat diwawancarai di Kampus Terpadu UMY, Sabtu (18/10).
Ia menambahkan, meski generasi muda tampak terhubung secara digital, banyak di antara mereka justru merasa cemas dan kesepian. Paparan media sosial yang berlebihan memperburuk keadaan karena membentuk standar kebahagiaan dan kesuksesan yang semu.
“Terlalu banyak waktu di depan layar mengubah cara berpikir dan berinteraksi. Generasi digital sering tampak percaya diri di dunia maya, tetapi rapuh ketika berhadapan dengan kenyataan sosial di dunia nyata,” kata Faris.
Krisis Kepemimpinan dan Lemahnya Soft Skills
Selain meningkatnya kecemasan, tantangan lain yang dihadapi generasi muda adalah krisis kepemimpinan dan lemahnya kemampuan sosial. Berdasarkan hasil penelitian yang disampaikan Faris, sebagian besar lulusan muda gagal bertahan di dunia kerja bukan karena kurangnya kemampuan teknis, tetapi karena lemahnya soft skills.
“Dari sepuluh lulusan baru yang memasuki dunia kerja, enam di antaranya gagal bertahan karena tidak memiliki keterampilan kepemimpinan, komunikasi, dan pengalaman sosial. Mereka tidak terbiasa bekerja dalam tim atau menghadapi tekanan sosial,” ujarnya.
Kondisi ini, lanjut Faris, menjadi peringatan bagi dunia pendidikan agar tidak hanya berfokus pada pencapaian akademik. Perguruan tinggi, menurutnya, memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk karakter, empati, dan kesiapan sosial mahasiswa.
“Kampus harus menjadi tempat tumbuhnya relasi yang sehat, kepemimpinan yang berakar pada moral dan akhlak karimah. Nilai itu tidak muncul dari teori, melainkan dari proses panjang belajar dan berinteraksi di tengah masyarakat,” tuturnya.
Keseimbangan dan Kesadaran Digital
Faris menegaskan, solusi dari krisis sosial generasi muda bukanlah menjauh dari teknologi, tetapi menggunakannya dengan kesadaran dan keseimbangan. Generasi muda perlu diarahkan untuk memiliki growth mindset, yakni pola pikir yang terbuka terhadap proses belajar dan perkembangan diri.
“Menjadi manusia terbaik tidak mungkin tanpa proses belajar terus-menerus. Manusia yang bermanfaat adalah mereka yang mau tumbuh, mau berinteraksi, dan memberi makna bagi lingkungannya,” pungkas Faris. (ihd)






