JOGJAOKE.COM, Jakarta – Rabu siang, ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta mendadak hening. Ariyanto Bakri, pengacara korporasi sawit yang juga tersangka, melontarkan angka mengejutkan. “Saya kasih Rp60 miliar,” ucapnya. Uang itu, kata dia, untuk para hakim, panitera, dan mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta.
Pengakuan itu mengguncang. Pasalnya, jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Agung selama ini menyebut jumlah suap yang mengalir adalah Rp40 miliar, bukan Rp60 miliar. “Kalau dari saya, pemberian murni Rp60 miliar sesuai dengan yang pertama dia minta dan saya kabulkan,” ujar Ariyanto di hadapan majelis hakim.
Dua Versi
Dalam dakwaan, jaksa menjabarkan bahwa lima terdakwa –Arif, Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan, serta tiga hakim anggota Djuyamto, Ali Muhtarom, dan Agam Syarief Baharudin– menerima Rp40 miliar. Duit itu dibagi dalam dua tahap.
Tahap pertama: Rp8 miliar. Arif kebagian Rp3,3 miliar, Wahyu Rp800 juta, Djuyamto Rp1,7 miliar, Agam dan Ali masing-masing Rp1,1 miliar.
Tahap kedua: Rp32 miliar. Arif mendapat Rp12,4 miliar, Wahyu Rp1,6 miliar, Djuyamto Rp7,8 miliar, Agam dan Ali masing-masing Rp5,1 miliar.
Semuanya, menurut jaksa, bersumber dari empat advokat yang mewakili kepentingan tiga raksasa sawit: Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Namun, versi Ariyanto menambahkan lapisan baru. Menurut dia, ada tambahan Rp20 miliar yang keluar dari sakunya –di luar hitungan jaksa. Jika benar, pertanyaan besar muncul: kemana larinya selisih Rp20 miliar itu?
‘Welcome Drink’
Tak hanya soal angka, Ariyanto juga mengungkap praktik uang pelicin sebelum sidang bergulir. Ia menyebut menyerahkan 5.000 dollar AS atau sekitar Rp75 juta kepada Wahyu. Baginya, uang itu sekadar “welcome drink”. Wahyu punya istilah lain: “uang baca berkas”.
Detail ini menyingkap kultur transaksional di ruang sidang. Uang kecil untuk membuka jalan, uang besar untuk mengamankan putusan.
Luka Peradilan
Kasus ini menyeret wajah-wajah penting peradilan. Nama Arif Nuryanta, yang pernah duduk sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, kini tercoreng. Tiga hakim lain yang biasa mengetukkan palu juga ikut duduk di kursi terdakwa.
Bagi publik, cerita ini bukan hal baru. Kasus-kasus suap di pengadilan kerap bermula dari meja advokat, mengalir lewat panitera, lalu berlabuh di tangan hakim. Bedanya, kali ini jumlahnya mencengangkan. Rp60 miliar untuk satu kata putusan: lepas.
Namun, perbedaan angka antara pengakuan Ariyanto dan versi jaksa menyisakan misteri. Di manakah Rp20 miliar yang tak tercatat itu? (ihd)