JOGJAOKE.COM, Yogyakarta — Pembahasan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) oleh pemerintah dan DPR kini masuk tahap percepatan. Namun, langkah tersebut menuai catatan kritis dari kalangan akademisi. Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Dr. King Faisal Sulaiman, S.H., LLM menilai, pembentukan RUU ini belum memiliki urgensi yang kuat karena regulasi yang sudah ada –seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)– sejatinya telah mengatur sejumlah isu terkait keamanan digital.
“RUU Keamanan dan Ketahanan Siber ini menyangkut dua hal besar, yaitu keamanan siber dan kejahatan siber. Maka penting untuk memisahkan keduanya secara jelas,” ujar King dalam diskusi daring, Senin (10/11/2025).
“Jika konteksnya adalah kebijakan keamanan siber, maka fokusnya seharusnya pada proteksi dan penguatan sistem, bukan pada unsur pidananya.”
King menilai, rancangan aturan tersebut perlu dikaji lebih mendalam agar tidak tumpang tindih dengan peraturan lain yang sudah ada. Ia menekankan, pembentukan undang-undang baru sebaiknya diarahkan pada peningkatan kapasitas keamanan digital nasional, bukan penambahan pasal-pasal pidana yang justru bisa menimbulkan multitafsir.
Lebih jauh, King menyoroti pentingnya partisipasi publik dalam pembahasan RUU KKS agar regulasi tersebut tidak berpotensi mengekang kebebasan digital masyarakat.
“RUU ini harus membuka ruang partisipasi publik, supaya suara masyarakat dapat didengar. Jangan sampai undang-undang ini lahir tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kebebasan berekspresi,” katanya.
Salah satu poin yang menjadi perhatian King adalah rencana pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai penyidik dalam penegakan hukum siber. Menurutnya, langkah itu berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana.
“Kalau TNI diberi kewenangan sebagai penyidik, maka harus ada batasan yang tegas. Penyidikan harus tetap berada dalam koridor hukum yang jelas,” tegasnya.
Ia juga memperingatkan bahwa perluasan kewenangan penyidikan tanpa pengawasan yang ketat dapat membuka ruang kriminalisasi terhadap masyarakat.
“Ketika penyidik diberi kewenangan luas untuk melakukan pelacakan atau pengawasan, masyarakat menjadi rentan terhadap jeratan hukum. Ini bisa berdampak pada kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia,” ujarnya.
King menutup dengan mengingatkan agar arah kebijakan RUU KKS tidak semata berorientasi pada kepentingan negara, tetapi juga memperhatikan kepentingan masyarakat sipil.
“Pendekatannya harus menempatkan kepentingan publik sebagai pusat. Prinsip hak asasi manusia harus menjadi acuan utama. Jadi, bukan pendekatan yang state-centric, melainkan civil-centric,” pungkasnya. (ihd)






