JOGJAOKE.COM, Gunungkidul – Polemik program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali memanas setelah terungkapnya surat perjanjian kontroversial di Gunungkidul.
“Ini menyalahi prinsip transparansi,” tegas Kepala Dinas Pendidikan Nunuk Setyowati, Kamis (25/9/2025).
Ia menilai klausul kerahasiaan itu mengancam keselamatan siswa dan mencederai kepercayaan publik.
“Sekolah tidak boleh dipaksa diam,” lanjutnya dengan nada tajam, menandai awal gelombang kritik baru.
Dokumen bertanggal 20 Agustus 2025 tersebut memuat tujuh poin, namun poin terakhir memicu kemarahan.
“Apabila terjadi kejadian luar biasa, seperti keracunan, ketidaklengkapan paket makanan, atau kondisi lain yang dapat mengganggu kelancaran pelaksanaan program ini, pihak kedua berkomitmen untuk menjaga kerahasiaan informasi hingga pihak pertama menemukan solusi terbaik,” bunyi kutipan yang menyulut reaksi keras.
Kepala sekolah yang enggan disebut namanya mengaku, “Memang benar ada MoU yang harus kita tandatangani,” ujarnya singkat.
Pengakuan itu menegaskan bahwa bukan hanya satu sekolah yang terikat, melainkan kemungkinan puluhan sekolah di Gunungkidul menghadapi situasi serupa.
“Pantesan ada kasus keracunan tidak ada yang melapor ke dinas,” ujar Nunuk. Ia menilai perjanjian tersebut sengaja membuat sekolah bungkam.
“Saya marah-marah, anak-anak saya jadi kelinci percobaan,” katanya geram, menyoroti dampak serius pada kesehatan siswa.
Nunuk langsung memerintahkan seluruh koordinator wilayah pendidikan meninjau ulang isi perjanjian.
“Ini sangat merugikan sekolah. Mereka jadi tidak berani melapor karena takut melanggar perjanjian,” tandasnya.
Ia menekankan pentingnya keterbukaan informasi demi keselamatan siswa.
“Keselamatan anak jauh lebih penting daripada menjaga citra program,” tegasnya, menyerukan keberanian untuk melapor dan melindungi hak publik atas informasi.
Dibanjiri kritik, pihak Satuan Pelayanan Program Gizi (SPPG) akhirnya buka suara.
“Alhamdulillah sudah ada progres perbaikan,” klaim perwakilan SPPG, menyatakan komitmen menarik ulang surat perjanjian bermasalah. Meski demikian, publik menuntut langkah konkret.
“Kami butuh tindakan nyata, bukan janji,” desak warga setempat.
Kontroversi ini menandai titik balik penting, menegaskan bahwa program gizi seharusnya melindungi, bukan membungkam.(*)






