JOGJAOKE.COM, Yogyakarta — Dalam suasana sederhana tapi sarat makna, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjamu Ketua Dewan Prefektur Kyoto, Ryuzo Aramaki, dan Wakil Gubernur Kyoto, Hironori Furukawa, dengan santapan khas Yogyakarta, gudeg, pada Selasa (4/11) malam. Jamuan dilakukan bukan di restoran mewah, melainkan di Warung Gudeg Ibukota, sebuah warung lesehan sederhana di tepi Jalan Solo, Yogyakarta.
Sebelum menikmati jamuan malam, rombongan Pemerintah Prefektur Kyoto lebih dahulu diterima secara resmi oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, di Bangsal Kepatihan. Pertemuan tersebut merupakan bagian dari rangkaian peringatan 40 tahun kerja sama persahabatan antara DIY dan Prefektur Kyoto, Jepang.
Yogyakarta dan Kyoto selama ini dikenal sebagai dua kota budaya yang menempatkan nilai-nilai spiritual, kesederhanaan, dan keseimbangan alam sebagai dasar kehidupan masyarakatnya. Keduanya juga berupaya menjaga tradisi di tengah arus modernisasi yang kian kuat.
Pada pukul 21.30 malam, suasana akrab tercipta di warung lesehan tersebut. GKR Mangkubumi tampak duduk bersila bersama Aramaki, Furukawa, dan rombongan tamu Jepang di atas tikar pandan. Di tengah riuh kendaraan dan lantunan pengamen jalanan, mereka menikmati gudeg hangat lengkap dengan lauk ayam dan telur bacem.
“Ya, simpel saja. Karena saya beberapa kali makan di sini, saya ingin mereka merasakan makanan yang benar-benar lokal. Gudeg ini kan tradisi Jogja,” ujar GKR Mangkubumi.
Wakil Gubernur Kyoto, Hironori Furukawa, menyampaikan apresiasinya atas kehangatan dan konsistensi hubungan persahabatan antara kedua daerah. Ia menilai, budaya Jawa dan Jepang memiliki kesamaan dalam menghormati alam, menjunjung tata krama, dan menanamkan kebijaksanaan dalam kehidupan sehari-hari.
“Kami berharap kerja sama ini bisa terus berkembang, termasuk dalam bidang lingkungan dan pendidikan generasi muda,” kata Furukawa.
Sementara itu, pemilik Warung Gudeg Ibukota, Murtijah, tak menyangka warung sederhananya menjadi tempat jamuan bagi pejabat tinggi dari Jepang. “Kalau dari keluarga Keraton memang sering makan di sini. Tapi kalau sampai pejabat Jepang diajak, saya juga kaget,” ujarnya.
Malam itu, menu paling banyak dipesan adalah gudeg lengkap dengan paha ayam dan telur bacem. “Senang sekali bisa dikunjungi Putri Dalem, apalagi mengajak tamu dari Jepang. Rasane mak nyes teng ati,” tutur Murtijah dengan mata berbinar.
Jamuan lesehan yang sederhana itu menjadi simbol eratnya persahabatan lintas budaya antara Yogyakarta dan Kyoto—dua kota yang sama-sama menjunjung nilai tradisi dan kehangatan manusia di tengah kemajuan zaman. (ihd)






