JOGJAOKE.COM, Yogyakarta — Muhammadiyah kembali menegaskan posisinya sebagai gerakan dakwah yang netral dari kepentingan politik praktis dan tidak berafiliasi dengan partai mana pun. Sikap ini dinilai penting untuk menjaga peran Muhammadiyah sebagai kekuatan masyarakat sipil (civil society) yang menebarkan nilai-nilai Islam moderat, humanis, dan berkemajuan di tengah dinamika sosial-politik nasional.
Penegasan itu disampaikan oleh pengamat politik Islam dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Zuly Qodir, M.Ag., dalam forum akademik bertema “Peran Muhammadiyah dalam Politik Kontemporer Indonesia”, Selasa (4/11/2025). Menurut Zuly, Muhammadiyah telah memilih jalan dakwah dan pemberdayaan masyarakat sebagai orientasi utamanya, bukan perebutan kekuasaan.
“Muhammadiyah tetap teguh sebagai gerakan dakwah. Kadernya boleh berkiprah di ranah politik selama sejalan dengan visi dakwah dan konstitusi,” ujarnya.
Jejak Panjang di Ranah Sosial
Hingga kini, Muhammadiyah menjadi salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan pengaruh luas di bidang pendidikan, sosial, ekonomi, dan kesehatan. Data internal menunjukkan, Muhammadiyah mengelola 19.915 sekolah, 176 universitas, 457 rumah sakit dan klinik, serta ribuan lembaga sosial dengan total aset mencapai lebih dari 21 juta meter persegi.
Meski memiliki jaringan kelembagaan yang masif, hasil survei Denny JA (2023) menunjukkan hanya 5,9 persen umat Islam Indonesia yang mengaku berafiliasi langsung dengan Muhammadiyah. Angka itu setara dengan sekitar 25 juta anggota aktif dari total populasi muslim nasional.
Dinamika Hubungan dengan Politik
Menurut Zuly, sikap netral Muhammadiyah bukanlah hal baru. Garis politik independen ini telah ditegaskan sejak kepemimpinan Prof. Dr. Haedar Nashir. Namun, ia menilai hubungan Muhammadiyah dengan politik bersifat dinamis, tergantung pada konteks kepemimpinan dan situasi nasional.
“Relasi Muhammadiyah dengan politik selalu berubah mengikuti zaman dan kepemimpinan. Tapi garis besarnya tetap: organisasi tidak boleh dijadikan instrumen politik praktis,” katanya.
Dalam sejarahnya, Muhammadiyah pernah memiliki kedekatan dengan kekuatan politik tertentu. Pada masa Din Syamsuddin, hubungan terjalin dengan Partai Golkar. Sementara di era Amien Rais, lahir Partai Amanat Nasional (PAN) sebagai wadah ekspresi politik kader Muhammadiyah. Adapun di masa Ahmad Syafii Maarif, gerakan ini lebih menonjol pada ranah kultural dan intelektual melalui Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) dan Maarif Institute.
Sikap di Tengah Kontestasi Politik
Menjelang Pemilu 2024, Zuly mencatat adanya keragaman dukungan politik di kalangan warga Muhammadiyah. Sebagian anggota cenderung mendukung Anies Baswedan–Muhaimin Iskandar, karena latar belakang Anies sebagai figur muslim modernis dan aktivis kampus Islam. Namun, tokoh lain seperti Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo juga memiliki kedekatan personal dengan sejumlah kader Muhammadiyah.
“Masing-masing calon punya hubungan emosional dengan Muhammadiyah. Jadi sulit menentukan kecenderungan tunggal. Justru keragaman ini menandakan demokrasi di Muhammadiyah semakin matang,” ujar Zuly.
Tetap Kritis dan Konstruktif
Usai pemilu, Muhammadiyah disebut akan tetap berperan sebagai kekuatan moral (moral force) yang mengawal kebijakan pemerintah secara kritis dan konstitusional. Zuly menegaskan, netralitas politik tidak berarti sikap pasif terhadap kebijakan negara.
“Netralitas politik Muhammadiyah bukan berarti apatis. Kami tetap bersikap kritis dan rasional terhadap kebijakan pemerintah, selama itu menyangkut keadilan dan kepentingan umat,” pungkasnya. (ihd)






