Pemulihan ODGJ Butuh Empati, Edukasi, dan Kolaborasi Lintas Sektor
JOGJAOKE.COM, Yogyakarta — Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kini menghadapi kondisi darurat kesehatan mental. Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, DIY tercatat memiliki jumlah Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) berat skizofrenia terbanyak di Indonesia, yakni mencapai 36.000 jiwa atau 9,3 persen dari total populasi 3,6 juta penduduk.
Fenomena ini menjadi sorotan dalam Seminar Internasional Hari Kesehatan Mental Sedunia 2025 yang digelar Pemerintah Daerah DIY di Kantor Gubernur, Kamis (9/10/2025).
Dosen Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Yanuar Fahrizal, MKep., Ns., Sp.Kep.J., tampil sebagai narasumber dengan paparan berjudul “Membangun Lingkungan Inklusif: Pendampingan Disabilitas Mental oleh Keluarga dan Masyarakat.”
Menurut Yanuar, gangguan kejiwaan seperti skizofrenia, bipolar, depresi mayor, dan gangguan cemas berat merupakan kondisi medis yang nyata, bukan aib sosial. Ia menegaskan bahwa proses pemulihan bagi ODGJ sangat mungkin dilakukan jika menggunakan pendekatan holistik yang mencakup aspek medis, sosial, dan emosional.
“Obat saja tidak cukup. Pemulihan sesungguhnya berfokus pada fungsi dan kualitas hidup. Banyak ODGJ yang bisa kembali produktif bila mendapatkan pendampingan yang tepat,” ujar Yanuar.
Peran Keluarga dan Dukungan Sosial
Yanuar menekankan keluarga sebagai sistem pendukung utama dalam pemulihan ODGJ. Lingkungan rumah yang empatik, aman, dan penuh penerimaan menjadi dasar terciptanya suasana terapeutik.
Langkah awal, menurut dia, adalah meningkatkan literasi keluarga tentang kondisi ODGJ, memahami pemicu kekambuhan, serta menjaga komunikasi tanpa menghakimi. Keluarga juga perlu menjaga keseimbangan mental mereka sendiri agar pendampingan dapat berkelanjutan.
“Tanpa dukungan keluarga, obat dan terapi tidak akan berjalan optimal. Keluarga tetap garda terdepan,” kata Yanuar.
Selain dukungan keluarga, kolaborasi lintas sektor juga diperlukan. Pemerintah daerah berperan sebagai pembuat dan pengawal kebijakan, sementara sekolah dan perguruan tinggi dapat berkontribusi melalui pendidikan kesehatan mental dan program pengabdian masyarakat.
Komunitas sosial, lanjutnya, bisa menjadi ujung tombak gerakan anti-stigma serta wadah pembentukan kader pendamping di tingkat lokal. Keterampilan psikososial seperti komunikasi asertif, kerja, rekreasi, dan orientasi sosial penting dikembangkan untuk meningkatkan fungsi sosial ODGJ serta mengurangi angka kekambuhan.
Gerakan Anti-Stigma
Acara yang diikuti sekitar 80 peserta itu merupakan hasil kolaborasi antara Pemda DIY dan Pusat Studi Gender, Anak, Lansia, dan Disabilitas (PSGALD) UMY. Peserta terdiri atas perwakilan pemerintah, akademisi, pelajar, mahasiswa, serta komunitas disabilitas dan kesehatan mental se-DIY.
Yanuar menegaskan bahwa ODGJ berat seperti skizofrenia bukan akhir dari produktivitas seseorang. Dengan dukungan keluarga, masyarakat, dan kebijakan yang inklusif, pemulihan dapat menjadi kenyataan.
“Kampanye ‘ODGJ bisa pulih dan produktif’ adalah cara paling efektif melawan stigma. Kuncinya empati, edukasi, dan kolaborasi,” ujarnya menutup sesi seminar. (ihd)






