JOGJAOKE.COM, Yogyakarta — Penutupan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan pada Januari 2026 menjadi tantangan besar bagi Kota Yogyakarta yang setiap harinya menghasilkan sekitar 300 ton sampah. Dari jumlah itu, baru 190 ton yang dapat ditangani, sementara 110 ton sisanya belum tertangani.
Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, mengingatkan perlunya terobosan sejak dini agar persoalan sampah tidak menumpuk saat TPA resmi ditutup. Hal itu disampaikan dalam kunjungan kerja ke Kemantren Kraton, Senin (8/9/2025).
“Kalau tidak dikelola dengan benar, kita akan menghadapi krisis sampah. Karena itu, perlu ada langkah bersama mulai dari rumah tangga, kelurahan, hingga kota,” ujar Hasto.
Data hingga akhir Agustus 2024 menunjukkan, volume sampah di wilayah Kraton mencapai 10.834 ton. Dari jumlah itu, sekitar 70 persen atau 6,8 ton adalah sampah organik. Pemkot menargetkan sampah rumah tangga yang dibawa ke depo hanya berupa residu, sedangkan sampah organik diselesaikan di tingkat keluarga atau lingkungan.
Dalam rapat bersama perangkat Kemantren, Pemkot memutuskan penggunaan ember berkapasitas 25 kilogram sebagai metode pengolahan sampah organik basah. Setiap kelurahan di Kraton akan menerima 10 ember sebagai percontohan.
Selain itu, 43 gerobak sampah akan ditambah dan 12 kendaraan viar di kelompok tanggung jawab bersama (KTB) diberdayakan. Untuk memperkuat sistem, enam juru pemilah (jumilah) ditempatkan di depo sampah, serta 21 personel Satuan Polisi Pamong Praja disiagakan untuk mengawasi jalannya program.
Rapat dihadiri sejumlah pejabat, di antaranya Kepala Dinas Lingkungan Hidup Rajwan Taufiq, Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Sukidi, serta Kepala Bagian Tata Pemerintahan Subarjilan. Mereka diterima Mantri Pamong Praja, Forkompimtren, lurah, dan pejabat struktural Kemantren Kraton.
Langkah-langkah tersebut diharapkan menjadi bagian dari solusi jangka panjang menghadapi tutupnya TPA Piyungan sekaligus menggerakkan partisipasi warga dalam menjaga kebersihan lingkungan. (ihd)